Sabtu, 25 Juni 2016

ARTIKEL PENDIDIKAN


PENDIDIKAN SEMACAM NEGARAKU

Oleh

Hesti Agestina
14410205
Universitas PGRI Semarang

     Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mencapai taraf hidup  yang lebih baik. Pendidikan sudah menjadi suatu hal yang harus kita ketahui dan harus kita laksanakan. Pendidikan  merupakan hal yang wajib untuk dijalankan setiap manusia karena pemerintah menganjurkan rakyatnya untuk wajib bersekolah. Bukan hanya dijalankan, namun kita juga harus mengerti tentang makna dan manfaat pendidikan yang sesungguhnya. Namun masyarakat mulai lalai dengan tujuan pendidikan yang sebenarnya. Masyarakat hanya memenuhi kewajiban untuk mematuhi kebijakan pemerintah dengan bersekolah saja, tanpa mengerti guna pendidikan yang sebenarnya.

    Pendidikan sering dijadikan sebagai tolak ukur kualitas dan kuantitas hidup manusia. Mereka yang menyandang status pendidikan yang tinggi selalu dipandang hebat oleh masyarakat, sedangkan untuk mereka yang tidak berpendidikan sering dipandang rendah oleh masyarakat. Namun terkadang ada juga beberapa masyarakat yang menganggap bahwa pendidikan itu tidak penting. Untuk apa bersekolah sampai tinggi? Ujung-ujungnya tidak mendapat pekerjaan. Sering terjadi pertanyaan dan pernyataan semacam itu di masyarakat. Lalu bagaimana pendidikan yang sesungguhnya? Perlukah kita di pandang sebagai manusia yang berpendidikan? Ataukah hanya menyandang status pendidikan yang tinggi tanpa bekerja?

  Kita awali dengan Ujian Nasional. Ujian Nasional sering menjadi tranding topic yang diperbincangkan semua masyarakat tiap tahunnya, bahkan di berbagai media sosial di negeri ini. Siswa rela belajar dengan sangat giat demi kelancaran dalam mengerjakan Ujian Nasional. Mereka bersekolah selama 6 tahun ditingkat SD, selama 3 tahun ditingkat SMP dan selama 3 tahun ditingkat SMA dengan berbagai mata pelajaran yang telah ditempuh, namun nasib mereka ditentukan dengan adanya Ujian Nasional yang hanya dilaksanakan beberapa hari di tahap akhir setiap jenjang. Bagaimana mungkin mereka masih ingin hidup jika mengetahui dirinya tidak lulus Ujian Nasional?  Setelah melaksanakan Ujian Nasional pun, mereka harus melaksanakan ujian lagi jika ingin memasuki perguruan tinggi dan sebagainya.

  Pemerintah pun juga dengan mudahnya mengganti peraturan pendidikan yang harus dijalankan oleh setiap orang-orang yang bersangkutan. Ujian Nasional sering diubah dengan berbagai macam model. Padahal masih banyak kejadian tentang kecurangan massal, bocornya naskah soal ujian, atau tersebarnya kunci jawaban dari soal Ujian Nasional. Tidak lepas dari  kurikulum pendidikan yang juga sering diubah berdasarkan keinginan. Entah itu akan memperbaik atau bahkan memperburuk masyarakat. Dan Pada akhirnya guru dan siswa lah yang menjadi ajang percobaan.

  Pendidikan sering menjadi topik permasalahan dalam masyarakat tentang penting dan tidak pentingnya pendidikan bagi masyarakat itu sendiri. Untuk menjawab rasa bimbang itu, negara harus menyiapakan berbagai lapangan pekerjaan untuk masyarakat yang telah menyiapkan dirinya untuk siap bekerja dengan melaksanakan pendidikan sampai pada perguruan tinggi untuk mengasah berbagai kemampuan yang telah dimiliki. Namun pada kenyataannya, semakin banyak pengangguran di negara ini, sehingga menimbulkan berbagai macam kejahatan. Dan masyarakat hampir tidak mempercayai kegunaan pendidikan dalam negara ini.

   Untuk meminimalis calon-calon koruptor di Indonesia, seharusnya lebih diperkuat lagi keamanan soal Ujian Nasional agar tidak ada yang tersebar di tangan masyarakat sebelum ujian dilaksanakan. Harus ada sanksi yang tegas dari kecurangan tersebut. Dengan mengganti berbagai model Ujian Nasional namun hal semacam ini jika diabaikan tetap saja tidak ada gunanya, bahkan ini bisa memperburuk pendidikan karakter siswa.
  Bangunan-bangunan sekolah yang belum memenuhi batas kelayakan, seharusnya lebih dipikirkan lagi agar para siswa memilki rasa kenyamanan dalam belajar. Bukan hanya siswa, guru pun juga harus memiliki rasa kenyamanan juga dalam mengjar. Hal ini sering diacuhkan karena pemerintah mulai sibuk mengurusi kurikiulum yang selalu diubah setiap tahunnya.

   Jika kurikulum sering mengalami pembaharuan, maka buku pelajaran dan tingkat pelatihan para guru juga harus ditingkatkan agar memilki mutu yang lebih baik dalam melaksanakan kebijakan kurikulum yang baru. Tidak bisakah hanya memfokuskan satu kurikulum saja yang tidak selalu berubah setiap tahunnya agar guru dan siswa juga tidak merasa kebingungan dalam menyesuaikan kegiatan belajar mengajar. Selanjutnya tentang wajib belajar yang harus dilaksanakan oleh masyarakat, maka negara harus menyiapkan sarana dan prasarana dalam menunjang kegiatan siswa belajar tanpa menghabiskan banyak biaya sehingga semua masyarakat bisa menuntaskan pendidikan sesuai kebijakan yang berlaku.

  Dalam pendidikan, selain siswa  harus memilki bekal pengetahuan yang didapat dari berbagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah, siswa juga harus diajarkan tentang pendidikan karakter. Hal ini sangat penting sekali, yaitu untuk menumbukan sikap tanggungjawab dan pembentukan karakter siswa agar tidak salah dalam mengambil keputusan. Hal ini bisa mencegah angka koruptor yang semakin meningkat di Indonesia. Pintar itu tidak harus selalu tentang pelajaran yang pernah diajarkan di sekolah. Karena siswa memiliki tingkat kemampuan yang berbeda, maka guru harus mengasah kemampuan siswa pada bidang-bidang tertentu agar berguna pada kehidupan masyarakat kelak bukan hanya terpacu pada semua mata pelajaran yang harus diajarkan.


Jumat, 24 Juni 2016

PAPER DRAMA



ULASAN DRAMA AYAHKU PULANG PADA FESTIVAL DRAMA PELAJAR NASIONAL TINGKAT SMA/SMK SEDERAJAT 2016 DI UNIVERSITAS PGRI SEMARANG
Oleh
 Hesti Agestina
14410205

          Drama merupakan salah satu bentuk karya sastra yang ditulis dalam bentuk dialog. Drama sering kita jumpai dalam kehidupan. Misalkan drama yang dipertunjukkan di atas panggung, tv, radio, dan media sosial lainnya.
            Dalam drama yang berjudul “Ayahku Pulang” yang ditampilkan oleh Teater Spontan SMA 1 Palu, menceritakan tentang suatu keluarga kecil di malam lebaran yang sedang menanti ayahnya pulang setelah beberapa tahun pergi merantau meninggalkan rumah dan keluarganya. Nyonya Salih, Mintasih, dan Maimun menunggu kehadiran sang ayah. Kecuali Gunarto yang sama sekali tidak menginginkan ayahnya kembali. Gunarto marah kepada sang ayah karena pada saat ia masih berusia 8 tahun sudah ditinggalkan oleh sang ayah dan tidak kembali lagi sampai Gunarto sudah dewasa. Ia bahkan menganggap bahwa dirinya tidak memilki ayah dan berfikir bahwa ayahnya telah pergi dengan wanita lain. Gunarto juga menganggap bahwa sang ayah adalah musuh terbesarnya karena semenjak ditinggal oleh sang ayah, kehidupan keluarganya menjadi susah tanpa kepala keluarga. Ia bahkan sudah terbiasa menahan rasa lapar, dingin, dan penyakitan serta sudah menjadi kepala keluarga untuk melindungi ibu dan adik-adiknya tanpa seorang ayah di samping mereka.
            Berbeda dengan Maimun dan Mintasih, mereka belum pernah melihat wajah ayahnya karena pada saat sang ayah pergi, mereka masih bayi. Mereka hanya bisa mendengarkan cerita tentang ayahnya dari sang Ibu dan Gunarto. Maimun dan Mintasih tetap menantikan kehadiran ayahnya walaupun dengan cerita Gunarto yang buruk mengenahi sifat sang ayah. Maimun dan Mintasih tidak memiliki rasa benci sedikitpun karena merasa bahwa mereka tetaplah darah daging sang ayah walaupun belum pernah ditemui sebelumnya.
           Setelah mereka berdebat, pada malam itu pula, munculah sosok laki-laki dengan mengenakan peci hitam di kepalanya dan pakaian yang dibungkus sarung yang bertamu di rumah tersebut. Ternyata laki-laki itu adalah Raden Saleh yaitu ayah mereka yang selama ini telah di nanti-nantikan. Raden Saleh datang dengan pakaian seadanya karena ia sedang bangkrut dengan usahanya. Ia datang karena sudah merindukan anak-anaknya. Nyonya Salih, Maimun, dan Mintasih senang melihat sang ayah pulang. Namun tidak dengan Gunarto. Ia tidak suka ayahnya datang, ia bahkan tidak menyambut kedatangan sang ayah. Karena merasa bersalah, Raden Saleh pun meminta maaf kepada Gunarto, istri, dan juga kedua anak perempuannya karena telah meninggalkan mereka dan pada saat kembali ke rumah dengan kondisi miskin. Gunarto masih tetap tidak memaafkan sang ayah.  Dan pada saat itu pula, sang ayah ingin kembali meninggalkan rumah lagi karena sikap Gunarto yang sama sekali tidak ingin menerimanya kembali.  Namun saat ayahnya hendak meninggalkan rumah dicegah oleh Maimun. Gunarto pun marah ketika melihat Maimun mencegah sang ayah karena Gunarto merasa bahwa selama ini yang menjadi ayahnya Maimun dan Mintasih adalah dirinya, yang menjaga ibu dan adik-adiknya adalah dirinya, bukan Raden Saleh. Sedangkan ibu dan Mintasih hanya bisa duduk sambil menangis melihat sikap Gunarto seperti itu kepada ayahnya.
        Akhirnya sang ayah pun pergi karena merasa dirinya tak diharapkan lagi oleh Gunarto, anaknya. Lalu Maimun menyusul ayahnya yang pergi keluar dari rumah, sedangkan pada saat itu sedang turun hujan dan petir. Beberapa saat kemudian, Maimun datang kembali ke rumah dalam kondisi yang basah kuyup dengan membawa peci hitam dan pakaian yang dibungkus oleh kain sarung milik ayahnya. Seketika itu, ibu dan Mintasih heran karena Maimun datang tanpa sang ayah. Dari kejauhan, Gunarto pun juga terlihat gugup dan takut. Ternyata setelah keluar dari rumah untuk menyusul sang ayah, Maimun hanya menemukan pakaian ayahnya di jembatan, tanpa bertemu dengan sang ayah di sekitar jembatan. Pada saat itulah sang ayah diketahui telah bunuh diri terjun ke sungai. Setelah mendengar cerita tersebut, semuanya menangis keras, termasuk Gunarto yang menyesali perbuatannya yang tidak ingin memaafkan sang ayah. Gunarto pun tersungkur di tanah dengan memegang peci dan pakaian milik ayahnya. “Ayahku Pulang, Ayahku Pulang.” teriak Gunarto dengan isak tangis penuh penyesalan.
           Drama Ayahku Pulang memiliki banyak  makna dalam kehidupan. Cerita drama diambil dari kisah yang sering terjadi dalam kehidupan keluarga sehingga banyak penonton yang menikmati alur dari cerita tersebut. Tidak lepas dari rasa nikmat yang dimilki oleh penonton, tentunya terkait dengan tokoh dalam drama yang membuat drama tersebut menjadi bagus dan lancar. Tokoh-tokoh dalam drama Ayahku Pulang antara lain: Ayah dengan nama Raden Saleh; Istri dengan nama Nyonya Salih/Tina; Anak pertama dengan nama Gunarto; Anak kedua dengan nama Mintasih; dan anak ketiga dengan nama Maimun. Tokoh-tokoh ini sangat pintar sekali dalam memainkan peran.
          Drama yang ditampilkan oleh SMA 1 Palu, sangat cocok jika ditampilkan di sekolah-sekolah. Apalagi jika ditampilkan di jenjang SMP maupun SMA karena drama ini mengandung banyak makna dan nasihat bagi kehidupan masyarakat untuk disampaikan pada penonton. Drama ini tersusun sangat rapi, sehingga penggunaan bahasa secara keseluruhan tidak terdapat kata-kata yang terlalu kasar dalam dialog. Penampilan dari segi pakaian yang digunakan masing-masing  tokoh dalam drama tersebut juga sopan dan sesuai dengan keadaan dalam cerita drama Ayahku Pulang yaitu dengan kehidupan yang penuh dengan kesederhanaan, mereka cukup menggunakan pakaian seadanya. Dalam drama, tidak ada diskriminasi tiap adegan, sehingga tidak perlu takut jika menimbulkan dampak buruk bagi para penonton setelah menonton drama ini.
       Kelebihan drama yang berjudul “Ayahku Pulang” antara lain jalan cerita yang disampaikan dalam drama tersusun secara rapi, runtut, sehingga penonton sangat menikmati alur ceritanya. Pemain sangat menghayati tokoh yang diperankan. Karena para pemain sangat menghayati peran, sehingga para penonton ikut hanyut dalam cerita drama tersebut. Terbukti bahwa banyak penonton yang ikut menangis ketika mendengar kabar bahwa Raden Salih meninggal dunia. Setiap gerakan sangat diperhatikan dengan teliti. Misalkan pada saat adegan membuka pintu, mereka sangat memperhatikan tiap-tiap gerakannya karena pada saat itu ruangan yang digambarkan dalam adegan drama di atur tanpa menggunakan pintu. Jadi mereka hanya menggerakkan tangan dan tubuh mereka untuk menyampaikan maksud pada penonton. Tata letak antara pintu, kursi, dan meja makan sangat baik dan teratur. Artinya semua adegan yang dilakukan pemain tetap terlihat oleh penonton dan pemain juga tidak membelakangi penonton. Pemain pun lancar dalam pengucapan dialog tanpa terbata-bata maupun lupa dialog dalam naskah. Tiap adegan juga diselingi oleh musik untuk menambah suasana haru dalam ruangan itu. Drama ini cukup mengejutkan penonton. Dilihat dari adegan pada saat Raden Salih meninggalkan rumah dan diceritakan bahwa Raden Salih bunuh diri terjun dari jembatan. Adegan ini cukup mengejutkan karena sudah pasti banyak penonton yang tidak berfikir kalau Raden Salih sampai bunuh diri dengan cara yang seperti itu. Letak efek kejut selanjutnya terletak pada judul drama yaitu “Ayahku Pulang”. Ternyata yang di maksud “Ayahku Pulang” yaitu pulang ke rahmat Allah. Raden Salih yang diceritakan sebagai ayah, telah bunuh diri dan meninggal kembali ke sisi Allah. Banyak penonton yang terkejut karena penonton mengira judul tesebut berkaitan dengan adegan Raden Salih saat pulang ke rumah setelah bertahun-tahun pergi meninggalkan keluarganya dan mereka akan hidup bahagia, tanpa berfikir harus pulang dengan arti meninggal.
           Kelemahan dalam drama yang berjudul “Ayahku Pulang” antara lain tata rias atau yang sering disebut dengan make up tidak rapi. Terlihat jelas pada tata rias Maimun di bagian wajah yang tidak rapi dan tidak kontras dengan kulitnya. Pada bagian musik sebenarnya bagus saat dimunculkan ketika adegan tertentu, guna menambah penghayatan pemain dan juga penonton. Namun ada beberapa nada dalam musik tersebut yang mengganggu pendengaran penonton. Sehingga penonton sulit untuk mendengarkan beberapa pengucapan dialog pada drama tersebut.
         Drama sering menjadi tontonan sekaligus tuntunan bagi para masyarakat. Oleh sebab itu dalam menampilkan sebuah drama harus memilki manfaat yang baik bagi para penonton. Masyarakat pun juga harus bisa memilih berbagai pertunjukan yang perlu ditonton agar memilki dampak yang positif bagi diri masing-masing.


Sabtu, 18 Juni 2016

ANALISIS CERPEN



ALIFKU TEGAK TRANSPARAN:
FENOMENA SOSIAL DALAM CERPEN
BERJUDUL LUKISAN KALIGRAFI KARYA A. MUSTAFA BISRI

Hesti Agestina
Universitas PGRI Semarang

Abstrak
            Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan tentang fenomena sosial dan efek kejut dalam cerpen berjudul Lukisan Kaligrafi karya Gus Mus. Fenomena sosial yang terdapat dalam cerpen tersebut adalah  gambaran Hardi sebagai pelukis yang capek mengikuti idealismenya sendiri dan mengikuti jejak banyak seniman yang lain seperti bisnis yang masih dalam ruang lingkup yang dikuasainya. Masih dalam tokoh Hardi, fenomena sosial  lainnya yaitu sosok Hardi yang pandai melukis dan sering mengikut sertakan lukisannya di pameran kaligrafi, ternyata dirinya tidak bisa mengenal aturan-aturan penulisan khath Arab namun ia bisa mengetahui maknanya dari Terjemahan Quran Departemen Agama. Fenomena sosial yang lainnya yaitu gambaran tokoh Hardi yang melukis kaligrafi, huruf-hurufnya dibentuk seperti mega, burung, macan, tokoh wayamg, dan sebagainya. Fenomena sosial yang lain adalah gambaran Ustadz Bachri yang berfikiran bahwa ia akan mudah melukis kaligrafi karena dirinya merasa lebih menguasai aturan-aturan penulisan khath Arab dibandingkan dengan Hardi, ternyata ia juga merasa kesulitan dalam melukis. Fenomena sosial lainnya yaitu gambaran Ustadz Bachri yang merasa rendah diri dan malu karena merasa bahwa lukisannya tak laku jual dan tak indah jika disandingkan dengan lukisan pelukis yang lain. Dan fenomena sosial yang lain adalah gambaran istri dan anak-anak Ustadz Bachri yang penasaran terhadap lukisannya.
            Kata kunci: fenomena sosial.

PENDAHULUAN
            Peneliti merasa tertarik untuk meneliti cerpen-cerpen Gus Mus setelah membaca ulasan dalam buku A. Mustafa Bisri (2003:132)  yang berjudul Lukisan Kaligrafi. Cerpen-cerpen karya Gus Mus banyak menggambarkan tentang keagamaan karena latar belakangnya yang juga sebagai pemilik pondok pesantren.
            S Prasetyo Utomo (2006), seorang cerpenis dan pemerhati sastra, menurutnya  tentang gaya bercerita Gus Mus sebagai pencerita yang lugas. Ia menulis cerpen dengan struktur yang lazim dipahami pembaca. Tokoh-tokoh cerpennya dengan keseharian Gus Mus. Begitupun dengan dengan setting narasi, sangat dengan dunia pesantren-tempat ia menghabiskan seluruh hidupnya.
            Gus Mus dilahirkan di Rembang, Jawa Tengah 10 Agustus 1944. Istrinya bernama Siti Fatimah. Gus Mus sebagai Pimpinan Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Karya-karyanya yang berupa cerpen dalam Luisan Kaligrafi yaitu antara lain Gus Jakfar, Amplop-Amplop Abu-Abu, Bidadari itu di Bawa Jibril, Ning Umi, Iseng, Lebaran Tinggal Satu Hari Lagi, Lukisan Kaligrafi, Kang Amin, Kang Kasanun, Ndara Mat Amit, Mbah Sidiq, Mubalig Kondang, Ngelmu Sigar Raga, Mbok Yem.

Rumusan Masalah
Berdasarkan pendahuluan di atas, dapatlah dibuat rumusan masalah seperti berikut:
1. Bagaimanakah gambaran fenomena sosial dalam cerpen Lukisan Kaligrafi karya Gus Mus?

Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini secara khusus adalah:
1. Mendeskripsikan fenomena sosial dalam cerpen Lukisan Kaligrafi karya Gus Mus.

Manfaat Penelitian                                                  
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi dosen-dosen bahsa dan sastra Indonesia, hasil penelitian ini dapat dijadikan contoh penelitian cerpen Gus Mus dari sudut realis.
2. Bagi mahsiswa tingkat sarjana dan pascasarjana, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai langkah awal meneliti cerpen-cerpen Gus Mus lainnya.
3. Bagi peneliti sastra, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pembanding bagi penelitian cerpen-cerpen Gus Mus yang sudah dilakukan dan belum dilakukan.

Sumber data
             Sumber data poenelitian ini diambil dari jurnal Prosa 1 (2002: 19-41), yaitu cerpen karya A. Mustafa Bisri yang berjudul Lukisan Kaligrafi , sedangkan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa kutipan atau penggalan teks yang menyangkut fenomena sosial yang ada dalam cerpen A. Mustafa Bisri tersebut.

Metode dan Teknik Penelitian
           Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, yaitu mendeskripsikan fenomena sosial dalam cerpen Lukisan Kaligrafi tersebut. Teknik penelitian yang digunakan adalah teknik studi pustaka, yaitu melengkapi dan mendasari kajian dan analisis cerpen dengan literatur pustaka yang lengkap. Teknik penelitian lainnya yang juga digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis isi.

Kerangka Teori
a. Fenomena Sosial
            Fenomena sosial dalam penelitian ini dapat disamakan dengan kritik sosial.  Banyak karya sastra yang bernilai tinggi yang di dalamnya menampilkan pesan-pesan kritik sosial (Nurgiyantoro, 2002:330).

ANALISIS PEMBAHASAN
Fenomena Sosial
            Gambaran fenomena sosial dalam cerpen Lukisan Kaligrafi adalah sebagai berikut:
1. Tokoh Hardi sebagai kawan dari tokoh Ustadz Bachri, ia adalah seorang pelukis yang yang capek mengikuti idealismenya sendiri, lalu ia mengikuti jejak seniman yang lain di dunia bisnis. Dia melukis apa saja asalkan laku mahal. Yang ingin Gus Mus sampaikan adalah masih ada manusia yang asal dalam melakukan suatu hal untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Apalagi dalam cerpen tersebut juga dijelaskan bahwa Hardi tidak mengetahui aturan penulisan Kath Arab. Padahal Hardi adalah seorang pelukis termasuk juga pelukis kaligrafi. Ia hanya mengetahui makna ayat tersebut lewat Terjemahan Quran Departemen Agama, lalu ia tuangkan ayat itu ke dalam kertas atau kanvas. Hurufnya ia bentuk seperti mega, burung, macan, tokoh wayang dan sebagainya.
2. Di gambarkan juga tokoh Ustadz Bachri yang berfikiran bahwa ia akan mudah melukis kaligrafi karena dirinya merasa lebih menguasai aturan-aturan penulisan khath Arab dibandingkan dengan Hardi, ternyata ia juga merasa kesulitan dalam melukis. Karena ia merasa kurang sreg dengan lukisannya yang hampir jadi langsung ia tandas dengan kuas lain dan memulai dari awal.
3. Fenomena sosial lainnya yaitu gambaran Ustadz Bachri yang merasa rendah diri dan malu karena merasa bahwa lukisannya tak laku jual dan tak indah jika disandingkan dengan lukisan pelukis yang lain, di tunjukkan pada kutipan “Apakah lukisanku juga tampak indah di sini?” pikirnya. “Di mana gerangan lukisan itu dipasang?”. Kutipan tersebut menunjukkan bahwa wajar yang sering terjadi di masyarakat rasa tidak percaya diri dengan kemampuan kita sendiri dan juga rasa penasaran.
4. Dan fenomena sosial yang lain adalah gambaran istri dan anak-anak Ustadz Bachri yang penasaran terhadap lukisannya. Mereka penasaran pada lukisan Ustadz Bachri karena ia hanya menulis huruf Alif saja dalam lukisannya dan lukisannya tidak dapat di pandang saat difoto oleh wartawan.

Simpulan dan Saran
Simpulan
       Cerpen “Lukisan Kaligrafi” ini menceritakan tentang keadaan sosial yang sering dialami oleh masyarakat luas yaitu berawal dari Hardi yang pandai melukis kaligrafi ternyata tidak paham tentang aturan-aturan dalam penulisan arab dan hanya mementingkan tentang uang agar luksiannya tetap laku terjual. Juga tokoh Ustadz Bachri yang tanpa sengaja menyalurkan bakat melukisnya walau tak disangka ternyata lukisannya bermanfaat untuk orang dan laku terjual dengan harga yang fantastik. Walau begitu Ustadz Bachri sadar bahwa betapa sulitnya saat melukis walaupun ia tahu kalau dirinya pandai dalam hal menulis arab dengan aturan-aturan penulisannya.

Saran
       Penulis berharap dalam penelitian ini lebih di lengkapi lagi dengan sumber-sumber yang akurat dalam hal ini penulis khususkan cerpen perlu dilakukan pengkajian karya tersebut dengan lebih dalam agar analisis selanjutnya dapat lebih baik. Semoga penelitian selanjutnya akan menjadi lebih baik lagi.

Daftar Pustaka
Bisri, A. Mustafa. 2003. Lukisan Kaligrafi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 
Burhan Nurgiyanto. Teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta, 2002) hlm,68.
Cafesuli. 2009. Kajian Cerpen. Diakses pada 26 Mei 2016.  Www.wordpress.com.
Rene, Wellek dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: Pustaka Utama.
Roxaenah. 2013. Analisis Cerpen-Cerpen. Diaksespada 26 Mei 2016. Www.blogspot.co.id.analisiscerpen-html.
Thoha, Zainal Arifin. Kenyelenehan Sastra Pesantren. Republika: 11 Mei 2003.
Utomo, S Prasetyo. Narasi Sufisme dan Estetisme Lokal. Kompas: 15 Januari         2006.