Sabtu, 23 Juli 2016

CERPEN Cekak Banget



Kerinduan Bersama

            Hembusan angin sejuk mendinginkan tubuh. Pohon-pohon mulai berlenggak-lenggok  dengan diiringi suara kicauan burung dan kokok ayam. Terdengar bunyi srreeengg... ting ting... cuwosssssss dari rumah. Terdengar suara dari belakang. “Nak, bangun, ayo mandi lalu sarapan”.
Di meja makan.
Ibu: “Makan yang banyak ya sayang. Bagaimana sekolahnya?”
Nana: “Ya begitulah”
 Ibu: “Ibu harap kamu belajar yang sungguh-sungguh. Mau ibu antar?”
Nana: “Nggak perlu.” Langsung beranjak dari kursi dan keluar dari rumah.
Ibu hanya tersenyum  lalu membersihkan piring-piring yang ada di meja makan.
***
            Sosok gadis dari seberang jalan dengan mengenakan baju putih abu-abu mulai menghampiri rumah sederhana yang terletak tak jauh dari jalan raya. Dengan wajah lelah sambil membuka pintu rumah.  Kosong... Tak ada satupun seorang di sana. Hanya ada makanan yang selalu menyambutnya setiap ia pulang dari sekolah.
Tepat pukul 9 malam, suara wanita paruh baya mulai terdengar di rumah itu.
“Nana, apa kau sudah tidur, nak?” Tak ada jawaban.
Wanita itu menuju kamar sang anak, ia melihat anaknya sudah berbaring dengan masih menggunakan seragam sekolah. Setelah bunyi pintu yang tertutup, dalam kamar tersebut dengan seorang gadis yang masih mengenakan putih abu-abu mulai membuka matanya dan mengeluarkan air mata tanpa berkata apapun.
***
            Bunyi ting...ting... srreeenggggg... cuwwoooossssss.... mulai terdengar dari seisi ruangan.
Ibu: “Wahhh segarnya anakku sehabis mandi. Bagaimana belajarnya kemarin nak? Apa ada yang sulit? Mata pelajaran apa? Teman-temanmu ikut membantumu kan?
(.....Hening.....) tak ada jawaban.
Ibu: “Apa mereka mengganggumu? Haruskah ibu datang ke sekolah? Untuk menasihati teman-temanmu? Atau datang untuk bertemu wali kelas? Atau...”
Suara lembut mulai terdengar di sisi lain meja makan.
Nana: “ Sudah cukup. Untuk apa datang ke sekolah? Untuk apa menasihati mereka?” Nada mulai tinggi “ Untuk apa bertemu wali kelas?” diam sejenak.“ Sampai kapan ibu seperti ini? Haaa?”
(.....Hening...) suara yang sama mulai terdengar lagi “Aku pergi dulu.”
Ibu hanya terdiam.
***
            Kilauan cahaya manik-manik yang tertempel di setiap baju dan gaun-gaun mulai menghiasai ruangan itu. Meja bertumpukan bulpoin, pensil dengan berbagai warna, dan meteran, serta buku-buku yang dipenuhi dengan desain. Wanita paruh baya itu duduk di kursi dengan melihat ke arah jendela. Datang wanita paruh baya lainnya yang masuk ruangan itu.
Meri: “ Wahhh gaun ini cantik sekali” melihat sekeliling ruangan. “Semuanya terlihat cantik, tapi hanya satu ini yang menurutku berbeda. Menurutku yang satu ini dibuat benar-benar dengan hati yang tulus.”
Menoleh ke wanita paruh baya “Heyy kenapa kau diam?”
Wanita itu menoleh dan  membalikkan kursinya “Apa kau bicara denganku?”
Meri: “Tidak. Aku hanya bergumam sendiri seperti orang gila.” Menghampiri wanita itu dan ikut duduk.
Hening sejenak, lalu wanita paruh baya itu mulai membuka mulut.
“Apa kau pernah di marahi seseorang yang lebih muda darimu? Bahkan muda sekali”
“Apa maksudmu? seseorang yang lebih muda yang pernah marah denganku (sambil bertfikir) ya anakku sendiri. Sebenarnya tidak benar-benar marah, tapi seperti rasa memberontak karena aku jarang di rumah. Setiap aku mengingat itu, hatiku juga merasa sakit karena sebagai seorang ibu, aku tidak bisa selalu berada di sampingnya.”
***
            Seragam putih abu-abu mulai terlihat di ujung jalan dan mulai di buka pintu rumah, namun tak seperti biasanya. Tidak hening, tidak hanya ada ruang kosong, Namun ada wanita paruh baya yang duduk menonton tv. “Kau sudah pulang, nak. Ayo makan. Ibu sudah menyiapkan makanan untukmu. Ibu baru selesai masak tadi, jadi masih hangat. Ayo duduk.”
 “Kenapa di rumah?”
“Karena ibu ingin di rumah.”
“Pekerjaan?”
“Biar tantemu yang mengurus dulu, sekaligus belajar supaya lebih cekatan dalam mengurus butik.”
Gadis remaja itu tersenyum sambil makan.
***
            Waktu cepatlah berlalu. Gadis remaja yang hanya menghabiskan waktu di sekolah dan di rumah yang sepi, kini sudah dewasa. Ia memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan sang ibu. Sudah tidak ada wanita paruh baya lagi dalam rumah yang sepi itu, tidak ada lagi bunyi piring yang bergelinting, tidak ada lagi bunyi srenngg dari hasil penggorengan dan tidak ada lagi bunyi cuwooosss dari kran air. Sekarang dia lah yang melakukan semua itu. “Andai saja ibu melihatku mengenakan gaun pengantin ini.” Sambil memandang gaun. Gaun itu adalah gaun yang telah di puji oleh tante Meri beberapa tahun yang lalu di butik milik ibunya. Gaun yang memiki ketulusan dan rasa cinta yang abadi. Bahkan gaun itu dibuat saat ia masih SMP. Dia sadar bahwa ibunya melakukan itu tak lain juga untuk dirinya. Terlintas dalam pikiran “Ibu, aku merindukanmu, aku mencintaimu.” Terjatuh butiran air dari kelopak mata membasahi pipi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar