Kerinduan Bersama
Hembusan angin sejuk mendinginkan
tubuh. Pohon-pohon mulai berlenggak-lenggok
dengan diiringi suara kicauan burung dan kokok ayam. Terdengar bunyi
srreeengg... ting ting... cuwosssssss dari rumah. Terdengar suara dari
belakang. “Nak, bangun, ayo mandi lalu sarapan”.
Di
meja makan.
Ibu:
“Makan yang banyak ya sayang. Bagaimana sekolahnya?”
Nana:
“Ya begitulah”
Ibu: “Ibu harap kamu belajar yang
sungguh-sungguh. Mau ibu antar?”
Nana:
“Nggak perlu.” Langsung beranjak dari kursi dan keluar dari rumah.
Ibu
hanya tersenyum lalu membersihkan
piring-piring yang ada di meja makan.
***
Sosok gadis dari seberang jalan
dengan mengenakan baju putih abu-abu mulai menghampiri rumah sederhana yang
terletak tak jauh dari jalan raya. Dengan wajah lelah sambil membuka pintu
rumah. Kosong... Tak ada satupun seorang
di sana. Hanya ada makanan yang selalu menyambutnya setiap ia pulang dari
sekolah.
Tepat
pukul 9 malam, suara wanita paruh baya mulai terdengar di rumah itu.
“Nana,
apa kau sudah tidur, nak?” Tak ada jawaban.
Wanita
itu menuju kamar sang anak, ia melihat anaknya sudah berbaring dengan masih
menggunakan seragam sekolah. Setelah bunyi pintu yang tertutup, dalam kamar
tersebut dengan seorang gadis yang masih mengenakan putih abu-abu mulai membuka
matanya dan mengeluarkan air mata tanpa berkata apapun.
***
Bunyi ting...ting... srreeenggggg...
cuwwoooossssss.... mulai terdengar dari seisi ruangan.
Ibu:
“Wahhh segarnya anakku sehabis mandi. Bagaimana belajarnya kemarin nak? Apa ada
yang sulit? Mata pelajaran apa? Teman-temanmu ikut membantumu kan?
(.....Hening.....)
tak ada jawaban.
Ibu:
“Apa mereka mengganggumu? Haruskah ibu datang ke sekolah? Untuk menasihati
teman-temanmu? Atau datang untuk bertemu wali kelas? Atau...”
Suara
lembut mulai terdengar di sisi lain meja makan.
Nana:
“ Sudah cukup. Untuk apa datang ke sekolah? Untuk apa menasihati mereka?” Nada
mulai tinggi “ Untuk apa bertemu wali kelas?” diam sejenak.“ Sampai kapan ibu
seperti ini? Haaa?”
(.....Hening...)
suara yang sama mulai terdengar lagi “Aku pergi dulu.”
Ibu
hanya terdiam.
***
Kilauan cahaya manik-manik yang
tertempel di setiap baju dan gaun-gaun mulai menghiasai ruangan itu. Meja
bertumpukan bulpoin, pensil dengan berbagai warna, dan meteran, serta buku-buku
yang dipenuhi dengan desain. Wanita paruh baya itu duduk di kursi dengan
melihat ke arah jendela. Datang wanita paruh baya lainnya yang masuk ruangan
itu.
Meri:
“ Wahhh gaun ini cantik sekali” melihat sekeliling ruangan. “Semuanya terlihat
cantik, tapi hanya satu ini yang menurutku berbeda. Menurutku yang satu ini
dibuat benar-benar dengan hati yang tulus.”
Menoleh
ke wanita paruh baya “Heyy kenapa kau diam?”
Wanita
itu menoleh dan membalikkan kursinya
“Apa kau bicara denganku?”
Meri:
“Tidak. Aku hanya bergumam sendiri seperti orang gila.” Menghampiri wanita itu
dan ikut duduk.
Hening
sejenak, lalu wanita paruh baya itu mulai membuka mulut.
“Apa
kau pernah di marahi seseorang yang lebih muda darimu? Bahkan muda sekali”
“Apa
maksudmu? seseorang yang lebih muda yang pernah marah denganku (sambil
bertfikir) ya anakku sendiri. Sebenarnya tidak benar-benar marah, tapi seperti
rasa memberontak karena aku jarang di rumah. Setiap aku mengingat itu, hatiku
juga merasa sakit karena sebagai seorang ibu, aku tidak bisa selalu berada di
sampingnya.”
***
Seragam putih abu-abu mulai terlihat
di ujung jalan dan mulai di buka pintu rumah, namun tak seperti biasanya. Tidak
hening, tidak hanya ada ruang kosong, Namun ada wanita paruh baya yang duduk
menonton tv. “Kau sudah pulang, nak. Ayo makan. Ibu sudah menyiapkan makanan
untukmu. Ibu baru selesai masak tadi, jadi masih hangat. Ayo duduk.”
“Kenapa di rumah?”
“Karena
ibu ingin di rumah.”
“Pekerjaan?”
“Biar
tantemu yang mengurus dulu, sekaligus belajar supaya lebih cekatan dalam
mengurus butik.”
Gadis
remaja itu tersenyum sambil makan.
***
Waktu cepatlah berlalu. Gadis remaja
yang hanya menghabiskan waktu di sekolah dan di rumah yang sepi, kini sudah
dewasa. Ia memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan sang ibu. Sudah tidak ada
wanita paruh baya lagi dalam rumah yang sepi itu, tidak ada lagi bunyi piring
yang bergelinting, tidak ada lagi bunyi srenngg dari hasil penggorengan dan
tidak ada lagi bunyi cuwooosss dari kran air. Sekarang dia lah yang melakukan
semua itu. “Andai saja ibu melihatku mengenakan gaun pengantin ini.” Sambil
memandang gaun. Gaun itu adalah gaun yang telah di puji oleh tante Meri
beberapa tahun yang lalu di butik milik ibunya. Gaun yang memiki ketulusan dan
rasa cinta yang abadi. Bahkan gaun itu dibuat saat ia masih SMP. Dia sadar
bahwa ibunya melakukan itu tak lain juga untuk dirinya. Terlintas dalam pikiran
“Ibu, aku merindukanmu, aku mencintaimu.” Terjatuh butiran air dari kelopak
mata membasahi pipi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar